Apr 3, 2013

Karya Tulis Ilmiah Bagi Guru, Antara Tuntutan Karir dan Manfaatnya Untuk Kelas.

Terlibat dalam proses Sekretariat Penentapan Angka Kredit Guru Bagi Golongan IV ke atas membuat saya bertemu dengan sekian banyak guru dengan segala keluh kesahnya terumata terkait dengan karir kepangkatan mereka. Masalah utama adalah sulitnya memenuhi persyaratan nilai dalam bidang pengembangan profesinya dimana guru dituntut untuk membuat karya tulis ilmiah yang dipublikasikan.

Sekilas ketentuan yang mewajibkan guru menulis ini nampak bagus. Dengan menulis, terutama menulis karya tulis ilmiah, diharapkan guru dapat mengembangkan kemampuan kreatifnya dan selalu meng-update pengetahuan dan kemampuan mengajarnya terutama dengan model-model pembelajaran yang lebih efektif. Namun, pada kenyataannya terdapat sekian masalah.

"Produk Lama"
Guru yang telah memiliki pangkat IV/A ke atas sebagian besar adalah produk lama yang memiliki rata-rata kemampuan menulis yang kurang memadahi. Hal ini perparah dengan minimnya dalam kemampuan metodologi ilmiah maupun dari kemampuan menggunakan teknologi informasi terkini. Hal itu menyebabkan kesulitan tersendiri bagi mereka dalam mengemukakan gagasan dalam tulisan apalagi yang berbentuk tulisan ilmiah. Selain itu, sebagian dari mereka berkilah bahwa guru terbebani dengan banyaknya tugas, terutama mereka yang sudah mendapat tunjangan sertifikasi dengan kewajiban minimal tatap muka 24 jam perminggu, sehingga tidak memiliki waktu lagi untuk menulis.

Belum Menjadi Kebutuhan
Orientasi yang hanya pada kenaikan karir guru, bukan pada peningkatan kualitas pengajaran. Hal ini menjadi pengahalang bagi produktivitas guru dalam hal berkarya tulis. Membuat karya tulis masih menjadi beban demi memenuhi syarat administratif kenaikan pangkat. Padahal sejatinya karya tulis bila dihasilkan dari usaha terstruktur dari seorang guru dalam rangka meningkatkan kualitas pengajaran di kelas akan menjadi mudah, karena proses penulisan itu menjadi seiring dengan proses mengajarnya. Tidak mengada-ada.


Baca dulu, baru menulis
Masalah lain adalah masalah pada pola pembinaan yang selama ini dilakukan oleh sebagian yang berkecimpung dalam hal ini. Pola pembinaan yang dilakukan masih terlalu berorientasi pada hasil. Saya beberapa kali menjumpai forum pembinaan penulisan karya tulis yang dilakukan dengan cara langsung pada masalah tatacara penulisan. Padahal masih ada masalah yang lebih mendasar dari pada sekedar tatacara penulisan. Yaitu pada cara guru menemukan persoalan. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan cara mengupdate pengetahuan guru itu sendiri dengan cara membaca. Ibarat proses produksi, proses produksi yang dipaksakan. Tidak ada bahan pokok, tapi dipaksa berproduksi.


Masalahnya Pada Kebijakan
Kebijakan yang tidak disertai dengan pembinaan yang memadahi dan mekanisme penilaian yang transparan. Kebijakan yang mengharuskan guru menulis karya tulis ilmiah ini seolah nampak bagus. Namun jika kita perhatikan lebih dalam nampak bahwa kebijakan ini tidak komprehensif. Kebijakan ini mengasumsikan kemampuan guru sama disemua tempat. Pada kenyataannya tidak semua guru pada jenjang yang sama, bidang yang sama memiliki kemampuan yang sama. Hasil Uji Kompetensi Guru yang dilakukan pemerintah pada tahun 2012 lalu membuktikan hal itu. Dengan kenyataan tersebut kita tidak bisa menuntut hal yang sama untuk setiap guru sebelum dilakukan pembenahan kualitas guru sesuai dengan kondisi masing-masing.

Selain itu masalah ketersediaan sarana akses informasi bagi guru untuk dapat berkembang juga dianggap sama. Akses informasi untuk mereka yang berada di wilayah perkotaan dengan di perdesaan tentu sangat berbeda. Bagaimana mungkin guru yang berada di pelosok nun jauh dari akes internet misalnya, dituntut untuk mampun menulis karya tulis ilmiah berupa jurnal.


Mekanisme Penilaian yang Tidak Transparan
Hal lain yang cukup menjadi titik lemah adalah pada mekanisme penilaian. Mekanisme penilian yang selama ini ada belum semua dilakukan secara transparan. Misal untuk syarat kenaikan pangkat dari IV/A ke IV/B proses penilaian yang dilakukan terhadap karya tulis mereka masih dilakukan secara tertutup. Karya tulis tidak diseminarkan atau dipaparkan oleh penulis. Hanya penilaian yang dilakukan dari belakang meja. Hasilnya hanya ada tiga kategori. Lulus mendapat nilai penuh. Tidak lulus dengan nilai rentang. Dan tidak lulus dengan nilai nol. Bagi mereka yang tidak lulus, mendapat rekomendasi untuk memperbaiki atau membuat ulang. Namun tidak mendapat penjelasan yang mendatail bagian mana yang perlu diperbaiki atau bagian mana yang menjadikan tulisannya tidak dapat diterima oleh tim penilai. Penjelasan dalam surat hasil penilain hanya berisi penjelasan mengenai kerangka umum penulisan. Guru dalam hal ini tidak mendapatkan ruang untuk menyampaikan gagasan dan mempertanggungjawabkan apa yang sudah disampaikan dalam tulisannya.

Dengan demikian perlu kira perubahan pola dari sekedar menuntut guru untuk menulis, tapi lebih dari itu, guru harus menjadikan aktivitas menulis ini bagian dari peningkatan kualitas pengajaran di kelas yang berujung pada meningkatkan proses belajar siswa.

Gambar dari sini


Apr 2, 2013

Semrawutnya Lalu Lintas Kita. Gejala Apakah Ini?


Dua tempat yang menurut saya menjadi tempat "favorit" bagi pengendara untuk berlaku semrawut. Perempatan atau pertigaan yang dilengkapi dengan "traffic light" dan pintu perlintasan kereta api. Entah apa yang menjadi pertimbangan pelakunya sehingga melakukan hal-hal yanng menurut hitungan saya juga tidak akan mempercepat dia sampai tujuan secara signifikan. Misal, mencuri start lampu hijau. Tidak berhenti walau lampu seudah jelas hijau. Mengambil lajur sebelah kanan pada saat antri di pintu perlintasan kereta pada saat antre saat kereta melintas, yang jelas-jelas jalur itu diperuntukkan bagi kendaraan dari arah berlawanan. 

Pernah suatu ketika saya melihat "kegilaan" yang menurut saya sangat tidak layak untuk dilakukan. Seorang bapak mengendarai sepeda motor dengan seorang anak kecil dan seorang perempauan yang mungkin saja itu adalah anak dan isterinya, memaksa mencuri start di perempatan pada saat lampu masih merah. Nyawa taruhannya! Bukan saja nyawanya, tapi nyawa si anak dan siperempuan itu.

Suatu ketika, juga pernah mengalami yang tidak mengenakkan di sebuah perempatan yang bertuliskan "Belok Kiri Ikuti Lampu". Saya dengan tenangnya berhenti paling depan. Samping sebelah kanan saya berhenti juga sebuah mobil. Tiba-tiba sebuah mobil tak henti-hentinya mengklakson saya agar meberi jalan untuk dia terus melaju belok kiri. Karena saya sadar penuh dengan larangan belok kiri langsung, saya sama sekali tidak menindahkan klakson mobil tersebut. Namun betapa kagetnya saya ketika tiba-tiba mobil teresebut memaksa melintas dengan cara manaikkan roda sebelah kiri ke atas trotoar hingga bisa melaju terus. Astaghfirullah. Saya hanya bisa menggelengkan kepala. Betapa tidak sabarnya pengendara itu. 

Kejadian macam ini bukan sekali dua kali saya lihat, tapi hampir tiap hari terjadi. Mungkin masih banyak lagi yang tidak saya lihat secara langsung.Kejadian macam ini tidak hanya dilakukan oleh pengendara sepeda motor, tapi juga mobil. Tidak hanya pengendara laki-laki, tapi juga perempuan, tua dan muda. Dengan seragam apapun. Seragam umum, PNS maupun seragam Polisi. Tidak hanya di Jakarta, tapi juga di sini, kota Bandar Lampung, kota yang masih kecil dibandingkan dengan Jakarta. Apakah ini lebih karena infrastruktur kota yang kurang memadahi? Penegakan hukum bagi pelanggar hukum lalu lintas yang tidak sepenuhnya berjalan? Atau ini juga sudah menjadi penyakit sosial? Wallahu a'lam. 

Mar 15, 2011

FOSS untuk Pendidikan Kita, Mengapa Tidak.

Saya masih teringat dengan kejadian yang cukup menggelikan sekaligus membuat saya miris. Kejadian sewaktu menjadi panitia diklat penguatan kepala sekolah dan pengawas sekolah yang diselenggarakan di instansi saya bekerja. Waktu itu adalah kegiatan kedua dimana peserta wajib mengumpulkan hasil kerja mereka dalam bentuk “print out” maupun dalam bentuk file presentasi dengan menggunakan media keping CD. Pada saat satu persatu peserta maju mempresentasikan hasil kerja mereka, saya menemukan file dengan judul power point. Namun yang membuat saya geli karena ikon file tersebut bertuliskan “W” dan berekstensi “Doc”. Lebih menggelikan lagi ketika saya buka file tersebut, ternyata hanya berisikan satu halaman dan bertuliskan “PowerPoint”. Rupanya itu bukan satu-satunya, masih ada lagi kejadian serupa meskipun kondisinya tak separah kasus tersebut diatas.

Dalam perkiraan saya, salah kaprah ini terjadi akibat seringkali (bahkan mungkin selalu) para pengajar atau tenaga pendidik mengajarkan atau meminta peserta didik mengerjakan tugas presentasi dengan istilah “PowerPoint”. Padahal kita tahu bahwa powerpoint hanya salah salah satu nama software untuk presentasi dari sekian banyak software presentasi.

Kalau kalo kita perhatikan, rupanya kejadian diatas hanya gejala saja dari persoalan lain yang lebih mendasar lagi. Persoalannya adalah masih dominannya penggunaan salah satu software, sebut saja software buatan Microsoft. Software ini sejatinya adalah software komersial dan tertutup atau dalam bahasa lain dikenal dengan istilah proprietary software. Namun di Indonesia software ini sangat umum dipakai bahkan dengan jalan membajaknya. Hal ini dikarenakan tidak tegasnya pemerintah dalam hal pemberantasan penggunaan software bajakan baik dari sisi penegakan hokum maupun dari sisi edukasi kepada masyarakat. Hal ini seringkali membuat masyarakat meresa tidak ada persoalan dengan software yang dipakai sehari-hari.

Dominasi penggunaan software propritery baik yang legal maupun yang bajakan masuk kedalam berbagai sector termasuk dalam sektor pendidikan. Dominasi dalam dunia pendidikan bias dengan mudah kita rasakan, dimana peserta didik seringkali diberi pengetahuan tentang berbagai macam software komputer dengan langsung mengenalkan pada salah satu produk tertentu. Sebagai contoh, pengajaran tentang sistem operasi seringkali langsung dikenalkan pada sistem operasi Microsoft Windows. Contoh lain, ketika pengajaran mengenai aplikasi word prosesor siswa seringkali langsung dikenalkan dengan Mirosoft Word. Tak hanya produk Microsoft saja sebenarnya yang marak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, produk-produk komersial lain juga marak diajarkan seperti Corel dan Adobe. Sehingga bisa disimpulkan bahwa yang menadi dasar pengajaran hanya pada apa yang sudah umum dipakai.

Kondisi seperti ini tentunya akan sangat merugikan bangsa kita kedepan. Barangkali tidak sekarang, namun di masa yang akan datang kerugian itu baru akan terasakan. Ketergantungan kita pada salah satu software komersial akan sangat membatasi peningkatan kemampuan kita terhadap berbagai jenis software. Misalkan saja, suatu saat Microsoft benar-benar mendesak pemerintah RI untuk memberantas pembajakan Microsoft di Indonesia maka bisa dibayangkan betapa kagetnya mereka yang sudah sangat tergantung dengan produk tertentu. Berapa biaya yang harus tiba-tiba dikeluarkan untuk membeli semua lisensi agar tetap dapat menggunakan software tertentu tersebut. Dari lisensi sistem operasinya hingga lisensi software aplikasinya. Belum lagi jika pembalasan datang pada sektor lain. Dengan mendasarkan pada TRIPS (The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) bisa saja suatu Negara yang merasa dirugikan akibat produknya banyak dibajak oleh negara lain melakukan pembalasan di sektor lain.

Kerugian lain yang tak kalah berbahanya adalah terkungkungnya kreativitas bangsa kita. Mereka yang selalu terbiasa menggunakan software komersial tertentu pada level yang minimal tidak terbiasa menggunakan softrware lain atau merasa tidak bisa bekerja jika dihadapkan dengan tools yang menggunakan software selain buatan Microsoft. Bahkan yang lebih parah lagi mereka tidak pernah tahu bahwa ada software alternative selain yang sudah terbiasa mereka pakai.

Dengan kondisi diatas dan ancaman kerugian tadi, maka sudah saatnya dunia pendidikan di negeri ini untuk memulai mengubah cara pengajaran kepada peserta didik untuk juga mengenalkan berbagai alternative software. Lebih penting lagi untuk mengenalkan free open source software. Ketika seorang tenaga pendidik mengenalkan kepada peserta didik mengenai sistem operasi sudah saatnya untuk mengenalkan kepada mereka bahwa sistem operasi terdiri dari berbagai macam jenis. Salah satunya adalah linux. Dengan juga mengenalkan kelebihan dan kekuranganya.

Bukan Soal Gratisnya.

Free Open Sourcce Software sendiri menjadi pilihan terbaik untuk saat ini untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap software-software propietary seperti buatan Microsoft. Bukan hanya persoalan legalitas dan harga, namun lebih pada nilai etis dan semangat yang dibawa oleh free open source. Dalam dunia software sendiri dari aspek lisensi dikenal dua jenis software, propritery software dan free open source software (FOSS). Proprietary software adalah software yang menerapkan lisensi tertutup dimana pembeli tidak memiliki hak untuk melakukan modifikasi dan penggandaan serta penyebaran kembali software yang telah dibelinya. Sementara FOSS adalah software yang menerapkan lisensi terbuka dimana pengguna atau siapapun berhak menggunakan, memodifikasi dan mendistribusikan kembali.

Software proprietary lahir sebagai produk komersial, dibuat dengan cara tertutup, tidak memberi kebebasan bagi pihak lain untuk mengubah atau memodifikasi apalagi menyebarluaskan. Umumnya dengan menggunakan instrumen HAKI, vendor software proprietary mengeruk keuntungan dari penjualan dan tidak memberi kebebasan atas barang yang telah dibeli oleh seseorang. Sementara free open source lahir sebagai alterbatif bahkan sampai level tertentu sebagai perlawan atas dominasi software propietary. FOSS memberi jaminan kebebasan pada siapapun untuk melakukan akses terhadap source code dan melakukan modifikasi terhadap suatu software dan menyebarkan kembali.

Dari sini nampak bahwa persoalannya adalah bukan semata-mata pada berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh seseoarang atau suatu lembaga untuk mengadakan dan menggunakan sautu software, tapi lebih pada aspek nilai sosial yang terkandung. Mungkin bagi mereka yang berkecukupan, uang bukanlah persoalan, sehingga software semahal apapun dalam dibeli.

Sudah saatnya bagi siapapun yang memiliki konsern dan terlibat langsung dalam dunia pendidikan untuk setidaknya mengenal bahwa tidak hanya ada Ms Power Point untuk membuat presentasi tapi juga ada Impress dari OpenOffice yang gratis. Selain itu masih banyak lagi berbagai software yang gratis ataupun terbuka sebagai pengganti atau setidaknya alternatif bagi software proprietary. Demikian juga denga sistem operasi. Linux adalah salah satu software sistem operasi FOSS yang telah berkembang dengan pesat akhir-akhir ini. Linux dapat berkembang dengan begitu cepat dikarenakan lisensi yang digunakan adalah lisensi bebas, sehingga tidak hanya efisien, tapi juga telah memamdaikan begitu banyak orang karena memungkinkan keterlibatan begitu banyak orang dalam proses pembuatannya.