Feb 23, 2010

Guru Profesional dan Plagiarisme

Oleh Mochtar Buchori

Kasus 1.082 guru di Riau yang ketahuan menggunakan dokumen palsu agar dapat dikategorikan sebagai ”guru profesional” sungguh memilukan. Dalam hati saya bertanya, apakah guru-guru ini masih dapat mengajar di sekolah mereka?

Masih ada sederet pertanyaan lain dalam kasus ini tentang guru-guru ini. Yang sungguh mengganggu pikiran saya adalah bagaimana para guru itu masih dapat mengajar dengan baik setelah mereka kehilangan wibawa (gezag) akibat peristiwa ini? Sebutan ”guru profesional” tak akan dapat mengembalikan wibawa yang hilang karena plagiarisme tadi.

Bahkan, sebutan apa pun tak ada yang dapat mengembalikan wibawa yang hilang dalam jabatan guru. Titel ”profesor” sekali- pun tak dapat mengembalikan kewibawaan seorang guru besar yang melakukan plagiat. Contoh ini merujuk kasus plagiat seorang profesor dari perguruan tinggi terkemuka di Bandung yang dimuat The Jakarta Post pada 12/11/2009. Tulisan dinilai menjiplak artikel jurnal ilmiah Australia karya Carl Ungerer.

Kita tahu betapa kasus ini sangat memalukan dan memilukan, khususnya bagi dunia akademis. Pertanyaan penting adalah bagaimana ini dapat terjadi? Khusus tentang kasus plagiat oleh sejumlah guru di Riau, jangan-jangan ada sesuatu yang salah secara fundamental dalam program profesionalisasi bagi guru-guru kita. Sejak semula saya sudah ragu tentang program ini.

Ada ketentuan bahwa mereka yang berhasil memenuhi kriteria ”guru profesional” akan dapat tunjangan jabatan. Seharusnya, tambahan penghasilan itu jadi stimulus. Ironisnya, ia hampir jadi satu-satunya alasan yang mendorong banyak guru mengejar sebutan ”profesional”. Profesionalisme dalam pengetahuan dan kemampuan kerja tidak penting! Yang penting duit! Sikap ini jelas merusak profesi guru.

Lalu, apa sebenarnya profesionalitas guru itu? Definisi kuno mengenai ini meliputi dua hal, pertama, penguasaan materi pembelajaran, dan kedua, kepiawaian dalam metode pembelajaran. Karena cepatnya perubahan yang terjadi di sekolah dan di dunia pendidikan pada umumnya, definisi harus diubah. Penguasaan materi pembelajaran berubah menjadi ”kecintaan belajar” (love for learning) dan kepiawaian metodologi pembelajaran berubah menjadi ”kegemaran berbagi pengetahuan” (love for sharing knowledge). Yang terakhir ini kemudian diperbarui lagi menjadi ”kegemaran berbagi pengetahuan dan ketidaktahuan” (love for sharing knowledge and ignorance).

Mengapa terjadi perubahan- perubahan ini? Karena dunia pendidikan tidak statik. Pengetahuan berkembang terus. Metodologi pembelajaran juga berkembang terus. Kalau dulu pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai guru pada waktu ia tamat dari pendidikan guru dapat bertahun-tahun, sekarang kedua hal tadi akan menjadi ketinggalan zaman dalam waktu lima tahun.

Sekarang ini terasa betul kebenaran ucapan seorang profesor Inggris pada tahun 1954: ”If you learn from a teacher who still reads, it is like drinking fresh water from a fountain. But if you learn from a teacher who no longer reads, it is like drinking polluted water from a stagnant pool”. Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air comberan.

Dan sekarang ini, dalam abad ke-21, seorang guru baru dapat disebut ”guru profesional” kalau dia memiliki learning capability, yaitu kemampuan mempelajari hal-hal yang harus dipelajarinya, hal-hal yang perlu dipelajarinya, dan hal-hal yang tidak perlu dan tidak dapat dipelajarinya. Kemampuan-kemampuan tumbuh dari pengetahuan tentang dirinya sendiri, siapa dirinya sebenarnya, dan mengetahui pula pribadi-pribadi bagaimana yang tidak mungkin dicapainya. Ditirunya, ya, tetapi dicapainya (verpersoonlijkt), tidak! Singkatnya, guru profesional adalah orang yang tahu diri. Orang yang tahu diri tidak akan melakukan plagiat.

Saya mendapatkan kesan bahwa esensi profesionalitas guru ini tidak pernah dijelaskan kepada guru-guru yang ingin maju, guru-guru yang benar-benar ingin memahami tugasnya dan memperbaiki kinerjanya. Kesan saya lagi, yang ditekankan dalam usaha-usaha peningkatan kemampuan (upgrading) adalah pengetahuan tentang kementerengan guru profesional. Hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik keguruan profesional. Guru-guru muda yang baru selesai ditatar jadi guru profesional tampak ganteng (handsome) atau cantik, tetapi tidak memancarkan kesan keprofesionalan yang mengandung wibawa.

Jadi bagaimana sekarang? Untuk tidak mengulangi kecelakaan yang terjadi di Riau ini, perlu ada tinjauan yang jujur terhadap program dan praktik penataran yang dilaksanakan selama ini. Susun kembali programnya sehingga meliputi hal-hal esensial yang saya sebutkan di atas.

Tentang plagiat

Plagiat berasal dari kata Belanda plagiaat yang artinya ”meniru atau mencontoh pekerjaan orang lain tanpa izin”. Jadi, plagiat merupakan suatu bentuk perbuatan mencuri. Mengapa ini dilakukan, sedangkan guru selalu berkata kapada murid untuk tidak mencontek?

Melakukan plagiat adalah perbuatan mencontek dalam skala besar. Jadi, tindakan plagiat merupakan pelanggaran terhadap etika keguruan. Guru biasa pun akan mendapatkan aib kalau sampai melanggar etika ini. Jadi, mengapa terjadi pelanggaran yang bisa menurunkan harga diri guru seperti ini?

Dugaan saya, pertama-tama adalah karena para guru di Riau tadi ingin segera mendapatkan tunjangan finansial dan julukan ”guru profesional” beserta yang menyertainya. Ini tidak mengherankan! Karena setelah bertahun-tahun hidup dalam keadaan serba kekurangan, dengan kedudukan sosial yang tidak terlalu mentereng, maka ketika datang kesempatan untuk perbaikan, mereka berebut meraih kedua perbaikan sosial tadi secara cepat. Lebih cepat, lebih baik!

Kedua, ketentuan bahwa untuk jadi ”guru profesional” seorang guru biasa harus membuat karya ilmiah tidak benar-benar dipahami artinya. Membuat ”karya ilmiah” itu apa? Yang diketahui kebanyakan guru adalah bahwa ”karya ilmiah” adalah makalah yang disusun berdasarkan pemikiran atau penelitian sendiri. Sifat ilmiah harus terlihat dari judul, metodologi, dan istilah-istilah yang digunakan.

Di antara para guru yang mengejar sebutan profesional ini selama masa studi mereka banyak yang tidak mendapat kuliah atau latihan dalam membuat karya ilmiah. Mempelajari lagi kemampuan ini dari permulaan terasa sangat berat. Maka, dicarilah jalan pintas. Membayar orang untuk menyusun karya ilmiah ini, atau membajak karya ilmiah yang sudah jadi, dan di-copy tanpa izin. Dan terjadilah plagiat.

Bagaimanapun kasus plagiat ini harus segera ditangani secara serius dan jangan sampai terulang. Ingat, hal ini berpotensi terjadi lagi dan lagi kalau kita hanya menindak mereka yang tertangkap melakukan plagiat. Harus dilakukan langkah pencegahan. Bila kita gagal menghentikan praktik buruk plagiat oleh guru-guru ini, seluruh masa depan pendidikan kita akan menghadapi kehancuran.

Mochtar Buchori Pendidik

Sumber: http://cetak.kompas.com/

Feb 17, 2010

Internet dan Tanggung Jawab Pendidikan

Facebook akhir-akhir ini menjadi salah satu sorotan masyarakat. Kita tentu masih ingat dengan kemunculan group di Facebook yang mendukung Bibit dan Candra. Group ini adalah bukti nyata dampak positif dari kemunculan situs jejaring sosial. Masih banyak lagi group group lain yang menjadi wadah penyaluran aspirasi publik yang kini entah berapa banyak jumlahnya.

Namun baru-baru ini facebook kembali menjadi sorotan publik setelah terjadi beberapa kasus kejahatan melalui media facebook. Sekarang ini pemerintah mengeluarkan rancangan peraturan pemerintah tentang pengaturan konten multimedia. Pemerintah menyatakan, seperti dikutip Kompas Tekno, bahwa salah satu tujuan peraturan ini adalah untuk melindungi untuk melindungi kepentingan umum dari gangguan sebagai akibat dari penyelahgunaan informasi elektronik, dokumen elektronik, dan transaksi elektronik yang megganggu kepentingan umum.

Rancangan peraturan pemerintah ini menuai kontroversi karena dianggap membelenggu demokrasi di ranah media internet. Selain itu pengaturan konten yang mewajibkan ISP memfilter konten membuat proses pendewasaan bagi pengguna terhambat, sebab tidak menuntut tanggungjawab pada pelaku pembuat konten melainkan lebih menekankan tanggungjawab kontrol pada penyedia jasa akses internetnya. Ibaratnya pengguna handphone tidak bertanggungjawab terhadap percakapannya tapi penyelenggara operator HP lah yang harus mengatur percakapan apa saja yang boleh dilakukan oleh pengguna HP.

Saya tidak akan membahas lebih jauh soal
Rancangan Peraturan Menteri (RPM) dan berbagai aturan yang mungkin akan dikeluarkan oleh pemerintah, namun saya akan lebih memfokuskan pada bagaimana pengguna internet terutama mereka yang masih masuk kategori pelajar memperoleh pendidikan yang mendewasakan sehingga tidak akan terjerumus dalam perilaku yang tidak bertanggungjawab dan lebih-lebih menjadi korban perilaku tersebut. Berbagai kasus penyalahgunaan facebook dan mungkin jejaring sosial maya lainnya yang terjadi di kalangan pelajar dalam hal ini bisa dilihat sebagai kegagalan institusi pendidikan menghadapi kemajuan teknologi informasi.

Dari pengamatan singkat saya di daerah pinggiran seperti tempat saya berdomisili yang sekolahnya tidak memiliki perangkat internet yang memadai, siswa-siswa sekolah itu mengenal internet bukan dari sekolah melainkan dari fasilitas umum seperti warnet atau bahkan HP. Apalagi dengan kemunculan berbagai produk handphone yang memiliki fitur akses internet dengan harga yang semakin murah. Dengan kondisi tersebut, sekolah tentunya bisa dikatakan memiliki peran terbatas dalam proses edukasi siswanya dalam hal penggunaan internet yang aman dan sehat. Belum lagi jika kita telilti tentang bagaimana kemampuan tenaga guru dalam hal teknologi informasi. Tak usah jauh-jauh, kemampuan-kemampuan dasar berinternet saja masih sangat banyak guru yang tak menguasainya. Dengan kondisi seperti ini bagaimana mungkin sauatu isntitusi pendidikan mampu melakukan kontrol terhadap siswa-siswanya.

Dalam bayangan saya, andai para guru menguasai internet, dan tentunya mengerti tentang jejaring sosial dunia maya salah satunya, tentu dapat dengan mudah sang guru dapat melakukan edukasi kepada siswa denagan lebih baik. Bisa saja guru mewajibkan siswanya untuk memasukkan guru tersebut dalam daftar teman di facebook siswanya. Dengan demikian siswanya lebih terkontrol melalui facebook, setidaknya guru dapat ikut 'mengendalikan' perbincangan siswa-siswanya.

Untuk itu perlu usaha yang lebih tersistematis dari para pelaku pendidikan dan tentu saja pemerintah untuk meningkatkan kapasitas teknologi informasi para guru dan tenaga pendidik. Perbaikan sistem pendidikan calon guru dan tenaga pendidik tak bisa dipungkiri lagi harus diperbaiki. Program internetisasi sekolah menjadi tak banyak berarti tanpa di barengi dengan peningkatan kapasitas tenaga operatornya. Evaluasi terhadap berbagai metode yang diterapkan oleh pemerintah selama ini dalam peningkatan kapasitas tenaga pendidik perlu dievaluasi. Tak bisa lagi pelatihan calon kepala sekolah hanya dilaksanakan hanya dalam seminggu untuk menjadikan seorang yang memiliki berbagai kecakapan seorang tenaga pendidik yang handal.

Tulisan ini tidak didasarkan pada suatu penelitian ilmiah, namun saya kira pembaca sepakat bahwa peran pendidikan sangat penting untuk menyelamatkan anak-anak kita dari berbuat hal perilaku yang tidak bertanggungjawab dengan menggunakan media internet apalagi menjadi korban atas perilaku tersebut. Terlalu banyak fungsi positif dari internet yang bisa diambil dan dijadikan sebagai sarana untuk membentuk mesyarakat yang "well infromed". Hal itu tidak bisa dilakukan dengan menakut-nakuti penggunanya tapi mendidiknya.

Ket:
Gambar diambil dari sini

Jan 31, 2010

Sistem Operasi untuk Belajar Internet Tanpa Koneksi Internet

SchoolOnffLine adalah sebuah Distro / LiveDVD turunan dari Sabily atau Ubuntu yang di tujukan untuk sekolah / pelajaran Internet. Dalam SchoolOnffLine terdapat Server Web, e-learning Moodle, Blog Wordpress, Wiki, Digital Library, e-mail, Webmail, File Sharing (SAMBA), Ubuntu Repository Server Lokal, Chatting Server. Dengan menggunakan SchoolOnffLine sebuah sekolah dapat memberikan pelajaran komputer / Internet tanpa perlu online ke Internet.
Bahkan jika di perlukan untuk demonstrasi LiveDVD SchoolOnffLine dapat digunakan di komputer tanpa mengganggu software yang ada di harddisk komputer tersebut. SchoolOnffLine dapat juga di install ke harddisk untuk penggunaan yang lebih permanen.


Untuk spesifikasi lebih lengkap lihat disini
Untuk mendownloadnya disini


Jan 21, 2010

Download Buku "Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis"

Buku Laskar Pelangi menghentak khalayak, menggugah para guru, menginspirasi jutaan pembaca, menghardik dunia pendidikan di negeri ini. Asrori S. Karni menyebutnya The Phenomenon.

Seto Mulyadi mengatakan novel ini menunjukkan pada kita bahwa “pendidikan adalah memberikan hati kita kepada anak-anak, bukan sekedar memberikan instruksi dan komando, dan bahwa setiap anak memiliki potensi unggul …..”.

Buku Anak-anak Membangun Kesadaran Kritis barangkali dapat melengkapi gambaran tentang bagaimana anak bila diberikan perlakuan yang tepat (memberikan hati seperti disampaikan Kak Seto) dan kesempatan untuk berpartisipasi maka anak-anak dapat menjadi subyek/pelaku perubahan sosial yang luar biasa. Buku ini memberi fakta-fakta, pengalaman di berbagai tempat dan berbagai lapangan yang sangat kaya dimana anak-anak tumbuh kembang kesadaran kritisnya dan sungguh menjadi subyek perubahan sosial.

Selamat membaca buku terbitan insist yang sangat baik

Salam hangat
Andreas Iswinarto


Sumber : www.insist.or.id

Hingga saat ini, belum ada wacana yang terintregasi menyangkut partisipasi anak-anak. Perdebatan seputar partisipasi cenderung didasarkan hanya pada opini, anekdot, dan kenangan romantis masa kanak-kanak daripada bukti-bukti yang konkrit.

Berbagai program penelitian tentang peran dan persfektif anak-anak telah dilakukan di seluruh dunia untuk menjawab secara jelas pertanyaan: "mengapa anak-anak?". Dengan menggunakan pendekatan dan proses partisipatoris, para peneliti dan pendamping anak-anak dapat mendapatkan pengalaman yang sangat berharga tentang bagaimana bekerja dengan anak-anak laki-laki maupun perempuan.

Buku ini menyajikan banyak contoh dari berbagai benua, bagaimana anak-anak bisa difasilitasi untuk mengungkapkan pendapat dan memaparkan realitas mereka dengan memakai berbagai media ungkap dalam rangka melenyapkan dominasi yang selama ini membungkam suara mereka.

Judul Asli:Stepping Forward
Penulis: Victoria Johnson, Edda Ivan-Smith, Gill Gordon, Pat Pridmore, Patta Scot
Penerjemah:Harry Prabowo dan Nur Cholis

Berikut Link Download Buku tersebut:

Lembar Penghargaan (PDF; 12kb)

Kata Pengantar 1: Partisipasi dan Anak-anak (PDF; 20kb)

Kata Pengantar 2: Anak sebagai Subyek Perubahan Sosial (PDF; 80kb)

Pendahuluan (PDF; 68kb)

Bagian 1: Sebuah Awal (PDF; 112kb)

Bagian 2: Etika Penelitian Bersama Anak-Anak (PDF; 176kb)

Bagian 3: Sebuah Proses (PDF; 456kb)

Bagian 4: Pengaruh Budaya terhadap Pandangan dan Sikap Anak (PDF; 200kb)

Bagian 5: Partisipasi Anak-Anak dalam Situasi Konflik dan Bencana (PDF; 132kb)

Bagian 6: Institusi dan Kekuasaan (PDF; 812kb)

Bagian 7: Anak-Anak sebagai Partisipan Aktif (PDF; 164kb)

Singkatan (PDF; 16kb)

Glosarium (PDF; 24kb)

Apendix 1 (PDF; 20kb)

Apendix 2 (PDF; 20kb)

Bibliografi dan Daftar Pustaka (PDF; 68kb)

Dari: http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/buku-online-gratis-anak-anak-membangun.html

Ayo Bantu 6,3 juta Ibu Indonesia Belajar Membaca

Donasi Gerakan Penguatan Perempuan agar Mereka Berdaya

Mampu membaca dan menulis adalah gerbang ilmu dan keberdayaan. Namun, di era milenium ini, ada sebagian rakyat Indonesia khususnya perempuan miskin tidak bisa baca tulis. Data Diknas tahun 2009, terdapat 9,76 juta penduduk usia 15 tahun ke atas masih buta aksara, dimana 64% atau sekitar 6,3 juta di antaranya adalah perempuan. Dukungan layak diberikan kepada para ibu dan calon ibu yang tidak bisa baca tulis ini agar mereka lebih berdaya. YAPPIKA dan Dompet Dhuafa menggalang dukungan publik untuk melatih dan mendampingi para ibu belajar membaca.


Donasi dapat disalurkan ke rekening Bank Mandiri 006.00.0036529.0. a.n. YAPPIKA atau CIMB Niaga 502-01-00026-00-8 a.n. Yayasan Dompet Dhuafa.

Informasi lebih lanjut: Elita (YAPPIKA: 021 – 819 1623, www.yappika.or.id), Arlina (Dompet Dhuafa: 021 - 741 6050, www.dompetdhuafa.or.id).

Jan 19, 2010

Qaryah Thayyibah; Sekolah Bermutu dengan Biaya Murah



Melihat dan mendengar kata Indonesia di berbagai ruang dan waktu seringkali menimbulkan rasa pesimisme tentang seperti apa masa depan bangsa ini akan menjadi. Berita tentang berbagai kebobrokan hampir seluruh aspek kehidupan komunitas bangsa ini seolah semakin membuat lutut ini lemas saja. Lihat saja, korupsi semakin terbuka, tawuran, bahkan sebagian anak bangsa ini juga tak malu lagi mengkonsumsi sampah untuk makanannya.
Kebobrokan ini juga menimpa dunia pendidikan di negeri ini. Lihat saja, dari soal minimnya fasilitas fisik sekolah-sekolah yang negeri, kurangnnya kualitas guru, minimnya gaji guru sampai soal jual beli skripsi bagi mereka yang ikut program penyetaraan sarjana demi kenaikan gaji yang katanya sampai 2 kali lipat.
Namun, di tengah nestapa tersebut ternyata masih banyak pula "keajaiban" yang muncul. Keajaiban yang jadi semacam oase di tengah gurun. Salah satunya adalah yang muncul di ranah pendidikan. Ditengah fenomena kesenjangan pendidikan antara yang kaya dan yang miskin yang itu berarti juga kesenjangan dalam hal kualitas, kini muncul fenomena pendidikan alternatif. Pendidikan itu bernama Qaryah Thayyibah. Sekolah alternatif yang digagas oleh pemuda bernama Bahruddin di sebuah daerah di Salatiga, Jawa Tengah.
Saya sendiri pertama kali mengetahui fenomena tersebut hanya dari media VCD kompilasi dari berbagai acara TV. Namun, dari tayangan itu saja saya dapat melihat semangat gerakan alternatif yang mampu memberikan jawaban bagi kesenjangan pendidikan yang ada. Pendidikan yang diselenggarakan dalam bentuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah (SMP) ini benar-benar menawarkan sesuatu yang berbeda. Perbedaannya tidak hanya terlihat dari kesederhanaan bangunan yang ada. Sekolah ini menempati sebuah rumah warga dan tidak memiliki bangunan megah layaknya sekolah-sekloah modern. Namun belajar, bagi mereka, menjadi hal yang menyenangkan. Belajar bukan lagi menjadi beban. Proses belajar diselenggarakan dengan cara yang tidak kaku. Gurupun bukan hanya sebagai penyampai materi, tapi menjadi partner belajar. Mereka juga dikenalkan dengan lingkungan dengan cara menyatukan mereka dengan lingkungan sekolah mereka, baik lingkungan alam maupun lingkungan masyarakat sekitar.
Dengan gedung yang sederhana, bukan berarti mereka menerima pendidikan alakarnya. Fasilitas internet 24 jam juga tersedia di sekolah ini. Tidak dengan komputer yang serba wah memang, namun siswa bisa menggunakannya kapan saja. Tentu saja ini membuat siswanya melek internet. Biaya yang dikeluarkan oleh orang tua siswa juga tak harus membuat mereka terbebani. Rp 15.000 tentu harga yang sangat murah untuk sebuah proses pendidikan yang berkualitas. Ternyata Qaryah Thayyibah mampu membuktikan bahwa kaualitas yang bagus tidak selalu identik dengan biaya yang mahal. Yang diperlukan hanya dedikasi. Inilah yang telah banyak hilang dari komunitas bangsa ini.
Saya membayangkan model seperti ini juga dikembangkan di berbagai daerah di tanah air ini. Banyak ormas di indonesia tentunya yang sangat berpotensi mengembangkannya.